Pasal 11: Sikap Waro’ Seorang Penuntut Ilmu Agama
A. Arti Waro’
Dalam masalah waro’ ini, sebagian ulama meriwayatkan hadis Nabi sbb: “Barangsiapa tidak berbuat waro’ ketika belajar, maka Allah akan memberinya cobaan salah satu dari tiga macam: dimatikan dalam usia muda, ditempatkan di tengah komunitas orang bodoh, atau dijadikan abdi penguasa.”171
Tapi kalau berbuat waro’ ketika belajar, maka ilmunya bermanfaat, belajarnya mudah, faedahnya berlimpah.
Termasuk perbuatan waro’ adalah menghindari perut kenyang, terlalu banyak tidur, dan banyak ngobrol yang tak berguna.
Dan jika mungkin hendaklah menghindari makan makanan pasar, karena makanan pasar itu cenderung najis dan kotor, jauh dari dzikrullah bahkan cenderung lengah, dan orang-orang fakir melihatnya tetapai tidak mampu membelinya sehingga mereka tersiksa karenanya, maka hilanglah berkah makanan itu.
Sebuah hikayat, Syaikh Imam yang mulia Muhammad Ibnul Fadhal172 pada masa belajarnya tidak pernah menyantap makanan pasar. Ayahanda Muhammad, yaitu Fadhal, tinggal di kampung, setiap hari Jum’at mengirim makanan ke rumahnya. Pada suatu hari Fadhal melihat roti pasar di rumah anaknya, iapun marah dan enggan berbicara dengannya. Muhammad mohon maaf dan menjelaskan “Saya tidak membeli roti itu dan sayapun tidak memakannya, tetapi itu pemberian temanku”, lalu sang ayah menimpali “Bila kamu berhati-hati dan wira’i, niscaya temanmu tidak akan sembarangan seperti itu.”
Demikian para pelajar tempo dulu berbuat waro’, dan ternyata mereka mendapat taufiq ilmu dan penyebarannya sehingga keharuman nama mereka abadi sepanjang masa.
Seorang ahli fiqih yang zuhud berpesan kepada muridnya, “Hindarilah perbuatan ghibah dan bergaul dengan orang yang banyak bicara”, dan katanya lagi, “Orang yang banyak bicara itu mencuri umurmu dan membuang sia-sia waktumu.”
Termasuk waro’ juga adalah menghindar dari orang yang suka berbuat anarki, maksiat, dan pemalas, (tapi bergaullah dengan orang-orang shalih) karena pergaulan ini pasti membawa pengaruh.
B. Menghadap Kiblat
Hendaklah duduk menghadap kiblat sewaktu belajar, mengikuti sunah Nabi ﷺ, memohon doanya para ulama ahli kebajikan dan menghindari doanya orang-orang yang teraniaya173, semua itu termasuk perbuatan waro’.
Suatu hikayat ada dua orang yang pergi merantau untuk belajar, kemudian merekapun belajar bersama. Setelah beberapa tahun berjalan mereka pulang kampung, dan hasilnya satu menjadi alim sedang satunya tidak. Tergelitik pada realitas tersebut para fuqaha seluruh negeri menanyakan perilaku mereka berdua, ulangan belajar mereka dan duduk mereka. Akhirnya diperoleh informasi dari banyak pihak, bahwa posisi duduk orang yang alim saat mengulang pelajaran selalu menghadap kiblat dan kota di mana ia mendapatkan ilmu, sedang orang yang tidak alim tadi selalu membelakangi kiblat dan tidak menghadap ke kota di mana ia mendapatkan ilmu.
Maka para ulama dan fuqaha sependapat bahwa, orang yang menjadi alim tadi atas berkah menghadap kiblat, karena hal ini hukumnya sunah kecuali dalam keadaan darurat, juga atas berkah doa kaum muslimin, karena kota tempat ia belajar itu tidak pernah sepi dari ahli ibadah dan ahli kebajikan – tegasnya, paling tidak selalu ada seorang ahli ibadah yang mendoakan dia di malam hari.
C. Pranata Spritual dan Sunah
Dianjurkan juga agar penuntut ilmu tidak mengabaikan adab (etika spritual) dan perbuatan sunah, karena siapa mengabaikan adab akan tertutup dari sunah, siapa mengabaikan sunah akan tertutup dari fardhu, dan siapa mengabaikan fardhu maka tertutup dari akhirat. Sebagian para ulama mengatakan bahwa hal demikian adalah hadis Rasulullah SAW.174