Pasal 7: Tawakkal Berserah Diri Hanya Kepada Allah
A. Pengaruh Rizki
Kemudian, Pelajar harus bersikap tawakkal dalam menuntut ilmu, jangan hiraukan urusan rizki dan jangan mengotori hati dengan hal tersebut.
Imam Abu Hanifah rah.a, meriwayatkan hadis dari seorang sahabat Nabi bernama Abdullah bin Hasan136 Az-Zubaidi, “Barangsiapa mempelajari agama Allah maka Dia mencukupi kebutuhannya dan memberinya rizki dari hal yang tidak pernah diduga”137
Orang yang hatinya telah terpengaruh urusan rizki, pangan ataupun sandang, sungguh jarang sekali yang dapat memusatkan perhatiannya untuk mencapai akhlak karimah dan obsesi yang mulia.
Penyair berkata138: “Tinggalkanlah, dan jangan kau memburu kemulian. Duduklah, engkau pasti mendapat sandang pangan.”
Seseorang memohon kepada Mansyur al-Hallaj139, katanya “Berwasiatlah kepadaku”, maka jawabnya, “Aku wariskan nafsumu, jika tidak kamu tundukkan maka kamu akan dikalahkan.”
Maka dianjurkan agar setiap orang mampu menundukkan nafsunya dengan cara banyak-banyak beramal sholih, sehingga tidak ada lagi peluang untuk menuruti hawa nafsu.
B. Pengaruh Urusan Dunia
Tidak sepatutnya bagi orang yang berakal digelisahkan oleh urusan duniawi. Susah gelisah disini tidak akan dapat menolak musibah, tidak juga bermanfaat bahkan membahayakan hati, akal dan badan, lagi pula merusak amal kebajikan.
Tapi hendaklah memusatkan perhatian pada urusan akhirat, karena hal inilah yang bakal bermanfaat.
Adapun hadis nabi yang bunyinya, “Sesungguhnya ada diantara dosa-dosa yang tidak dapat dilebur kecuali dengan care (memperhatikan) terhadap ma’isyah”140. Maksudnya adalah care seukur yang tidak merusak amal kebajikan dan merusak hati sehingga mendistorsi kekhusyukan dalam sholat. Adanya care dan kehendak dalam batas tersebut adalah termasuk amal akhirat.
Penuntut ilmu juga harus meminimalkan aktifitas duniawi sesuai kemampuannya, karena itulah maka banyak para pelajar yang menyukai ghurbah (mengisolasi diri).
C. Hidup Prihatin
Pelajar harus sanggup menderita susah payah dalam perjalanan belajarnya, sebagaimana pernyataan Nabi Musa a.s ditengah perjalanan belajarnya, “Benar-benar saya dapati susah payah dalam perjalananku ini”141, padahal keluhan seperti itu tidak pernah terjadi dalam berbagai perjalanan Nabi Musa yang lain.
Untuk dimaklumi, bahwa perjalanan belajar tidak pernah lepas dari kesulitan. Belajar itu pekerjaan agung, yang menurut pendapat mayoritas ulama adalah lebih unggul dibanding berperang, padahal besarnya pahala sesuai dengan kesulitan dan kesusahan yang dihadapi.
Barangsiapa sabar dan tabah dalam menghadapi kesulitan tersebut, maka mendapati kelezatan ilmu melebihi lezatnya dunia.
Karena itu Muhammad ibnul Hasan apabila tidak tidur beberapa malam dan terpecahkan berbagai kemuskilan, maka berkomentar, “Di manakah letak kelezatan putra-putra raja jika dibanding kelezatan yang aku rasakan kali ini?”142
D. Menggunakan Seluruh Waktu Untuk Ilmu
Dianjurkan kepada penuntut ilmu, hendaklah tidak terperdaya dengan sesuatupun selain ilmu, dan tidak berpaling dari fiqih.
Muhammad ibnul Hasan rah.a berkata, “Sesungguhnya pekerjaan kami ini dimulai dari ayunan/buaian sampai masuk liang kubur, barangsiapa ingin meninggalkan ilmu kami ini maka akan digilas oleh zaman.”
Ada seorang ahli fiqih, Ibrahim bin Jarrah143 namanya, datang menjenguk Syaikh Abu Yusuf yang tengah sakit keras menjelang wafat. Lalu atas kehendak sendiri, Abu Yusuf bertanya, “Mana lebih afdhol, melontar jumrah dari atas kendaraan atau sambil berjalan kaki?” Setelah Ibrahim tidak juga menjawab, maka dijawabnya sendiri, yaitu melontar sambil berjalan kaki lebih disukai untuk dua jumrah yang awal.”144
Demikian pula dianjurkan kepada ahli fiqih, agar senantiasa menekuni ilmunya itu sepanjang waktu, disitulah dia akan menemukan kelezatan yang agung.