Pasal 3: Memilih Ilmu, Guru, Teman, dan Tentang Ketabahan
A. Memilih Ilmu
Penuntut ilmu hendaklah memilih yang terbagus dari setiap bidang ilmu32, memilih ilmu apa yang diperlukan agama saat ini, kemudian apa yang diperlukan di waktu nanti.
Hendaklah memprioritaskan Ilmu Tauhid dan mengenal Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَ berdasar dalil, karena iman secara taqlid – meskipun sah menurut madzhab Hanafi – namun tetap berdosa karena meninggalkan pemakaian dalil.
Dan hendaklah memilih ilmu kuna, bukan ilmu yang baru, para ulama berkata “Tekunilah ilmu yang kuna dan jauhilah ilmu yang baru.33
Waspadalah jangan terperangkap dalam ilmu perdebatan yang tumbuh subur setelah habisnya para ulama besar, karena ilmu tersebut akan menjauhkan pelajar dari fiqih, membuang-buang umur dan melahirkan sifat buas serta permusuhan.
Fenomana demikian termasuk tanda-tanda kiamat, hilangnya ilmu dan fiqih. Demikianlah menurut hadis Nabi.34
B. Memilih Guru
Dalam hal memilih Guru, hendaklah memilih siapa yang lebih alim, lebih waro, dan lebih berusia, seperti halnya Imam Abu Hanifah menjatuhkan pilihannya pada Hammad bin Sulaiman35 setelah terlebih dahulu berfikir dan mempertimbangkan.
Kata beliau “Saya menemukan beliau seorang Guru yang luhur, santun, dan penyabar di segala urusan.”36 Dan katanya lagi, “Saya menetap pada Syaikh Hammad bin Abu Sulaiman dan ternyata saya berkembang.”
C. Musyawarah
Berkata Imam Abu Hanifah rah.a, “Saya pernah mendengar seorang Hakim (ahli hikmah) dari Samarkand37 berkata, ‘ada seorang pelajar berembuk (bermusyawarah) dengan saya tentang urusan belajar, padahal ia telah bermaksud ke Bochara38 untuk belajar disana’.”
Demikianlah dianjurkan untuk selalu bermusyawarah dalam segala urusan; sesungguhnya Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَ memerintah Rosul-Nya agar bermusyawarah dalam segala urusan39, padahal orang yang lebih cerdas dibanding beliau – toh masih disuruh bermusyawarah – maka dalam segala hal beliau selalu bermusyawarah dengan para sahabat, hingga urusan rumah tangga.
Berkata Ali bin Abi Tholib k.w, “Tidak akan hancur seseorang karena bermusyawarah.”40
Ada dikatakan, “Orang sempurna, setengah orang, dan orang tidak berarti; orang sempurna ialah yang memiliki pendapat benar dan mau musyawarah, setengah orang ialah yang memiliki pendapat benar tapi tidak mau musyawarah atau yang mau musyawarah tetapi tidak punya pendapat, sedang orang tak berarti ialah yang tidak punya pendapat dan tidak juga mau musyawarah.”
Syaikh Ja’far ash-Shodiq41 berpesan kepada Sufyan ats-Tsauri42; “Musyawarahkanlah urusanmu dengan mereka yang takut kepada Allah!.”43
Menuntut ilmu termasuk urusan yang sangat mulia sekaligus sulit, maka musyawarah disini menjadi amat penting dan harus dilakukan.
Seorang Ahli Hikmah rah.a, berkata: “Bila Anda pergi ke Bochara maka janganlah tergesa-gesa melibatkan diri dalam kontroversi para Imam. Tenanglah dua bulan, untuk berfikir guna memilih Guru. Karena jika Anda menghadap seorang alim dan mulai belajar kepadanya, boleh jadi pelajarannya tidak menarik bagimu lalu kamu tinggalkan dan berpindah ke Guru lain, maka belajarmu tidak berkah.”
Maka renungkanlah dua bulan dalam memilih Guru, dan musyawarahkanlah agar kelak tidak perlu meninggalkan serta berpaling darinya, kemudian barulah menetap di hadapan Guru pilihan itu sehingga mendapat berkah ilmumu dan manfaat sebanyak-banyaknya.
D. Sabar dan Tabah Dalam Belajar
Ketahuilah, bahwa sabar dan tabah adalah pangkal yang besar untuk segala urusan, tetapi jarang yang melakukan. Seperti syair dikatakan sebagai berikut, “Semua orang, berlomba menuju kemuliaan, tetapi jarang yang punya ketabahan.”
Ada sebuah kata mutiara: “Keberanian adalah sabar sejenak.”