Lalu Lintas Kafilah
Lingkungan jazirah itu penuh dengan jalan kafilah. Yang penting diantaranya ada dua. Yang satu berbatasan dengan Teluk Persia, Sungai Dijla, bertemu dengan padang Syam dan Palestina. Pantas jugalah kalau batas daerah-daerah sebelah timur yang berdekatan itu diberi nama Jalan Timur. Sedang yang satu lagi berbatasan dengan Laut Merah, dan karena itu diberi nama Jalan Barat.
Melalui dua jalan inilah produksi barang-barang di Barat diangkut ke Timur dan barang-barang di Timur diangkut ke Barat. Dengan demikian daerah pedalaman itu mendapatkan kemakmurannya.
Akan tetapi itu tidak menambah pengetahuan pihak Barat tentang negeri-negeri yang telah dilalui perdagangan mereka itu. Karena sukarnya menempuh daerah-daerah itu, baik pihak Barat maupun pihak Timur sedikit sekali yang mau mengarunginya – kecuali bagi mereka yang sudah biasa sejak mudanya. Sedang mereka yang berani secara untung-untungan mempertaruhkan nyawa banyak yang hilang secara sia-sia di tengah-tengah padang tandus itu.
Bagi orang yang sudah biasa hidup mewah di kota, tidak akan tahan menempuh gunung-gunung tandus yang memisahkan Tihama dari pantai Laut Merah dengan suatu daerah yang sempit itu. Kalaupun pada waktu itu ada juga orang yang sampai ke tempat tersebut – yang hanya mengenal unta sebagai kendaraan – ia akan mendaki celah-celah pegunungan yang akhirnya akan menyeberang sampai ke dataran tinggi Najd yang penuh dengan padang pasir.
Orang yang sudah biasa hidup dalam sistem politik yang teratur dan dapat menjamin segala kepuasannya akan terasa berat sekali hidup dalam suasana pedalaman yang tidak mengenal tata-tertib kenegaraan. Setiap kabilah, atau setiap keluarga, bahkan setiap pribadi pun tidak mempunyai suatu sistem hubungan dengan pihak lain selain ikatan keluarga atau kabilah atau ikatan sumpah setia kawan atau sistem jiwar (perlindungan bertetangga) yang biasa diminta oleh pihak yang lemah kepada yang lebih kuat.
Pada setiap zaman tata-hidup bangsa-bangsa pedalaman itu memang berbeda dengan kehidupan di kota-kota. Ia sudah puas dengan cara hidup saliang mengadakan pembalasan, melawan permusuhan dengan permusuhan, menindas yang lemah yang tidak mempunyai pelindung. Keadaan semacam ini tidak menarik perhatian orang untuk membuat penyelidikan yang lebih dalam.
Oleh karena itu daerang Semenanjung ini tetap tidak dikenal dunia pada waktu itu. Dan barulah kemudian – sesudah Muhammad s.a.w lahir ditempat tersebut – orang mulai mengenal sejarahnya dari berita-berita yang dibawa orang dari tempat itu, dan daerah yang tadinya sama sekali tertutup itu sekrang sudah mulai dikenal dunia.
Sumber: Muhammad Husain Haekal. Hayat Muhammad. Terjemahan Ali Audah. Cetakan ke-14. 1992. Jakarta: Litera Antarnusa.